Mengenal “Informed Consent”
“Informed Consent”  terdiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti telah mendapat  penjelasan atau keterangan (informasi), dan “consent” yang berarti  persetujuan atau memberi izin. Jadi “informed consent” mengandung  pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi.  Dengan demikian “informed consent” dapat didefinisikan sebagai  persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar  penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya  serta resiko yang berkaitan dengannya.
Menurut D. Veronika Komalawati,  SH , “informed consent” dirumuskan sebagai “suatu  kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan  dokter terhadap dirinya setelah memperoleh informasi dari dokter  mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya  disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.
Suatu informed consent baru sah  diberikan oleh pasien jika memenuhi minimal 3 (tiga) unsure sebagai  berikut :
Keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokter
Kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan
Kesukarelaan (tanpa paksaan atau tekanan) dalam memberikan persetujuan.
Keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokter
Kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan
Kesukarelaan (tanpa paksaan atau tekanan) dalam memberikan persetujuan.
Di Indonesia perkembangan  “informed consent” secara yuridis formal, ditandai dengan munculnya  pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang “informed consent”  melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas  lagi dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang “Persetujuan Tindakan  Medik atau Informed Consent”. Hal ini tidak berarti para dokter dan  tenaga kesehatan di Indonesia tidak mengenal dan melaksanakan “informed  consent” karena jauh sebelum itu telah ada kebiasaan pada pelaksanaan  operatif, dokter selalu meminta persetujuan tertulis dari pihak pasien  atau keluarganya sebelum tindakan operasi itu dilakukan.
Secara umum bentuk persetujuan  yang diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien) kepada pihak  pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan medis  dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :
1. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent);
2. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;
3. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.
1. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent);
2. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;
3. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.
TUJUAN PELAKSANAAN INFORMED  CONSENT
Dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan medis (pasien), maka pelaksanaan “informed consent”, bertujuan :
Dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan medis (pasien), maka pelaksanaan “informed consent”, bertujuan :
Melindungi pengguna jasa  tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala tindakan medis yang  dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa  tindakan medis yang sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang  bertentangan dengan hak asasi pasien dan standar profesi medis, serta  penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan biaya tinggi atau “over  utilization” yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan medisnya;
Memberikan perlindungan hukum  terhadap pelaksana tindakan medis dari tuntutan-tuntutan pihak pasien  yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tak terduga dan  bersifat negatif, misalnya terhadap “risk of treatment” yang tak mungkin  dihindarkan walaupun dokter telah bertindak hati-hati dan teliti serta  sesuai dengan standar profesi medik. Sepanjang hal itu terjadi dalam  batas-batas tertentu, maka tidak dapat dipersalahkan, kecuali jika  melakukan kesalahan besar karena kelalaian (negligence) atau karena  ketidaktahuan (ignorancy) yang sebenarnya tidak akan dilakukan demikian  oleh teman sejawat lainnya.
Perlunya dimintakan informed  consent dari pasien karena informed consent mempunyai beberapa fungsi  sebagai berikut :
1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia
2. promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri
3. untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien
4. menghindari penipuan dan misleading oleh dokter
5. mendorong diambil keputusan yang lebih rasional
6. mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan
7. sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan.
Pada prinsipnya iformed consent deberikan di setiap pengobatan oleh dokter. Akan tetapi, urgensi dari penerapan prinsip informed consent sangat terasa dalam kasus-kasus sebagai berikut :
1. dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pembedahan/operasi
2. dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pengobatan yang memakai teknologi baru yang sepenuhnya belum dpahami efek sampingnya.
3. dalam kasus-kasus yang memakai terapi atau obat yang kemungkinan banyak efek samping, seperti terapi dengan sinar laser, dll.
4. dalam kasus-kasus penolakan pengobatan oleh klien
5. dalam kasus-kasus di mana di samping mengobati, dokter juga melakukan riset dan eksperimen dengan berobjekan pasien.
1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia
2. promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri
3. untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien
4. menghindari penipuan dan misleading oleh dokter
5. mendorong diambil keputusan yang lebih rasional
6. mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan
7. sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan.
Pada prinsipnya iformed consent deberikan di setiap pengobatan oleh dokter. Akan tetapi, urgensi dari penerapan prinsip informed consent sangat terasa dalam kasus-kasus sebagai berikut :
1. dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pembedahan/operasi
2. dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pengobatan yang memakai teknologi baru yang sepenuhnya belum dpahami efek sampingnya.
3. dalam kasus-kasus yang memakai terapi atau obat yang kemungkinan banyak efek samping, seperti terapi dengan sinar laser, dll.
4. dalam kasus-kasus penolakan pengobatan oleh klien
5. dalam kasus-kasus di mana di samping mengobati, dokter juga melakukan riset dan eksperimen dengan berobjekan pasien.
ASPEK HUKUM INFORMED CONSENT
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien) bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien) bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.
Dalam masalah “informed  consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping terikat  oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap  tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata,  hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat  diterapkan.
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang digunakan adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara umum berlaku adagium “barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi”.
Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah “kesalahan berat” (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang digunakan adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara umum berlaku adagium “barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi”.
Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah “kesalahan berat” (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.
Aspek Hukum Perdata, suatu  tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan medis  (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan  medis (pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu  memberikan persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis  dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan  hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang  Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas  tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya;
Aspek Hukum Pidana, “informed  consent” mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351 Kitab  Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan  invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang  dilakukan pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak  pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah  melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran  terhadap Pasal 351 KUHP.
Sebagai salah satu pelaksana  jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa “informed consent”  benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak  pasien dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban  masing-masing pihak yang seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih  banyak seluk beluk dari informed consent ini sifatnya relative,  misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau  belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan  secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga  diperlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap masalah hukum  yang berkenaan dengan informed consent ini.
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar